Sabtu, 01 Juni 2013

Laporan BSLT (Brine Shrimp Lethallity Test)

                                                                            BAB I
PENDAHULUAN
I.1  Latar Belakang
Toksisitas adalah efek berbahaya dari bahan kimia suatu obat pada organ target, berhubungan dengan kanker yang merupakan salah satu ancaman utama di bidang kesehatan. Guna mendukung pencarian obat kanker yang spesifik, saat ini banyak dilakukan penggalian dari bahan-bahan alam. Sekarang, kita dapat menggunakan tanaman sebagai obat kanker. Sehingga perlu dilakukan penelitian-penelitian yang berguna bagi pengembangan dalam pemanfaatan flora yang ada secara maksimal alam termasuk untuk pengobatan kanker.
Dilakukan penelitian, guna mendukung pencarian obat kanker yang spesifik, dari bahan-bahan alam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian-penelitian yang berguna bagi pengembangan dalam pemanfaatan flora yang ada secara maksimal alam termasuk untuk pengobatan kanker.
Dalam mempelajari toksisitas yang paling awal dilakukan adalah dengan menggunakan kematian dari hewan percobaan sebagai suatu respon dari pengaruh suatu senyawa yang diuji.  Angka kematian hewan percobaan dihitung sebagai Median lethal concenration.
Metode pengujian BST dengan menggunakan Artemia salina dianggap memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa antikanker, sehingga sering dilakukan untuk skrining awal pencarian senyawa antikanker. Metode ini memiliki keuntungan dimana  hasil yang diperoleh lebih cepat (24 jam), tidak mahal, mudah pengerjaannya dari pengujian inilah efek toksik dapat diketahui atau diukur dari kematian larva karena pengaruh bahan uji dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan.                      
I.2 Maksud Praktikum
Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengetahui dan memahami uji toksisitas dari suatu senyawa berdasarkan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST).


I.3 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efek toksisitas dari hewan uji yaitu larva udang laut (Artemia Salina L) berdasarkan  metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
I.4 Prinsip Praktikum
Penentuan efek toksisitas suatu senyawa bahan alam terhadap larva udang (Artemia Salina L) dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), dimana dimasukkan 10 ekor larva udang (Artemia Salina L) ke dalam vial yang telah berisi ekstrak n-heksan daun mengkudu (Morinda citrifolia) dan air laut sebagai kontrol dengan konsentrasi masing - masing 1, 10, 100, dan         1000 µg. Kemudian diberikan 1 tetes ekstrak ragi sebagai sumber nutrisi. Vial-vial tersebut disimpan ditempat yang cukup mendapat sinar lampu. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan dengan melihat banyaknya jumlah larva udang (Artemia Salina L) yang mati.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Kanker  bukanlah  istilah yang asing lagi  tetapi   sering menjadi momok dan  sangat  menakutkan bagi masyarakat.  Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. Sel-sel tersebut terbentuk karena terjadinya mutasi gen sehingga mengalami perubahan baik bentuk,ukuran, maupun fungsi dari sel tubuh yang asli.  Mutasi gen ini dipicu oleh keberadaan suatu bahan asing yang masuk kedalam tubuh diantaranya zat bahan tambahan makanan, radioaktif, oksidan, atau karsinogenik yang dihasilkan oleh tubuh sendiri secara alamiah (Griffiths,1993).
Kanker dapat menyerang semua bagian tubuh.  Berdasarkan organ-organ tubuh  yang terserang, dikenal berbagai jenis kanker seperti kanker payudara, kanker mulut rahim, kanker otak, kanker hati, kanker paru-paru, kanker prostat, kanker kulit dan kanker usus (Mangan, 2003).
Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek terapeutis obat berhubungan erat dengan efek toksisnya. Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme (“Sola dosis facit venenum”: hanya dosis membuat racun, Paracelsus) (Tjay, 2002).
Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk sediaan tak murni atau campuran dari beberapa zat aktif , metode spektrofotometer ultraviolet/ infrared, dan polarograf tidak dapat dilakukan. Obat-obat ini diukur dengan metode biologis, yaitu dengan bio-assay, dimana aktivitas ditentukan oleh organisme hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat tersebut dengan efek suatu standar internasional (Tjay, 2002).
Bila ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka senyawa yang lolos penyaringan ini akan diteliti lebih lanjut (Gunawan, 2007).
Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksisnya pada hewan coba. Dalam studi farmakokinetik ini tercakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa tersebut dan metabolitnya dalam cairan biologik. Semuanya ini diperlukan untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil resiko penelitian pada manusia (Gunawan, 2007).
Ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi diantaranya (Mustchler, 1991) :
1.     Efek toksis akut, yang langsung berhubungan dengan pengambilan zat toksik.
2.    Efek toksik kronik, yang pada umumnya zat dalam jumlah sedikit diterima tubuh dalam jangka waktu yang lama sehingga akan terakumulasi mencapai konsentrasi toksik dan dengan demikian menyebabkan terjadinya gejala keracunan.
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelsus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis menetukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Sekarang dikenal banyak faktor yang menentukan apakah  suatu zat kimia bersifat racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek farmakoterapeutik (Gunawan, 2007).
Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebihi batas terapeutik, maka efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat (Kee, 1996).
Angka kematian hewan coba dihitung sebagai Median Lethal Dose (LD50) atau Median Lathal Concentration (LC50). Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk pengujian ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan coba secara inhalasi atau menggunakan media air. Kematian pada hewan percobaan digunakan sebagai pedoman untuk memperkirakan dosis kematian pada manusia (Cassaret, 1975).
Belakangan ini telah banyak pengujian tentang toksisitas yang dikembangkan untuk pencarian produk alam yang potensial sebagai bahan antineoplastik. Metode pengujian tersebut antara lain Simple Brench-Top Bioassay (terdiri dari Brine Shrimp Lethality Test, Lemma Minor Bioassay dan Crown-Gall Potato Disc Bioassay) dan pengujian  pada sel telur bulu babi (Anonim, 2012) :
1.     Dengan berdasarkan pada pemikiran bahwa efek farmakologi adalah toksikologi sederhana pada dosis yang rendah dan sebagian besar senyawa anti tumor adalah sitotoksik, maka Brine Shrimp Lethality Test dapat digunakan sebagai uji pendahuluan senyawa anti tumor. Senyawa yang mempunyai kemampuan membunuh larva udang diperkirakan juga mempunyai kemampuan membunuh sel kanker dalam kultur sel. Pengujian ini adalah pengujian letalitas yang sederhana dan tidak spesifik untuk aktifitas tumor, tetapi merupakan indicator toksisitas yang baik dan menunjukkan korelasi yang kuat dengan pengujian antitumor lainnya seperti uji sitotoksitas dan uji leukemia tikus. Karena kesederhanaan prosedur pengerjaan, biaya yang rendah serta korelasinya terhadap pengujian toksisitas dan pengujian antitumor menjadikan Brine Shimp Lethality Test sebagai uji hayati pendahuluan untuk aktivitas tumor yang sesuai dan dapat dilakukan secara rutin di Laboratorium dengan fasilitas sederhana.
2.    Metode BST juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa toksik dalam proses isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik dengan menentukan harga LC50 dari senyawa aktif. Metode BST dapat digunakan dari berbagai system uji seperti uji pestisida, mitotoksin, polutan, anastetik, komponen seperti morfin, karsinogenik, dan ketoksikan dari hewan dan tumbuhan laut serta senyawa racun dari tumbuhan darat.
3.    Lemma Minor Bioassay terutama digunakan sebagai uji pendahuluan terhadap bahan yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan pengujian ini dapat diamati bahwa senyawa anti tumor alami juga dapat menghambat pertumbuhan lemma, walaupun korelasinya dengan pengujian anti tumor lainnya kurang baik. Oleh karena pengujian ini lebih diarahkan untuk mencari herbisida dan stimulant pertumbuhan tanaman baru.
4.    Crown-Gall Potato Disc Bioassay merupakan metode pengujian toksisitas yang relatif cepat pengerjaannya, tidak mahal, tidak memerlukan hewan percobaan serta menunjukkan korelasi yang sangat baik dengan uji antitumor lainnya.
5.    Pengujian pembelahan sel telur bulu babi dilakukan dengan mengamati pengamatan penghambatan pembelahan sel telur oleh suatu senyawa, diamati secara normal pembelahan sel telur tersebut terjadi dengan cepat. Keuntungan dari metode ini adalah pengerjannya yang relative cepat, tidak memerlukan kultur sel serta peralatan dengan metode khusus. Seperti sel kanker, embrio Bulu Babi juga mempunyai sensitivitas selektif terhadap obat sehingga pengujian dengan cara ini menjadi metode yang layak bagi penentuan bahan yang akan dievaluasi lebih lanjut.
Walaupun semua sel bereproduksi selama embriogenesis, hanya sel – sel tertentu yang terus melakukannya setelah beberapa bulan kelahiran bayi. Sel – sel yang bereproduksi, seperti sel hati, kulit dan gastrointestinal, menduplikasi secara persis DNA mereka dan kemudian membelah menjadi dua sel anak. Sele bereproduksi melalui sebuah proses, yang disebut siklus sel. Sel – sel yang tidak bereproduksi setelah lahir, misalnya sel otot skeletela, tidak menjalani siklus sel ini. Perjalanan siklus sel ini secara ketat dikontrol dan dapat dihentikan  atau dimulai bergantung pada kondisi sel dan sinyal yang diterimanya, yang sebagian bahasannya diuraikan berikut ini. Sel – sel yang bereproduksi biasanya melalui siklus sel dengan kecepatan yang sudah semestinya kecepatannya dapat ditambahkan atau dikurangi. Sel yang bereproduksi secara lambat, atau tidak sama sekali, menghabiskan sebagian  besar waktu mereka pada stadium interfase tahap gap (G1 atau G2) (Corwin, 2009).
Siklus sel dikontrol oleh konstribusi berbagai gen yang bererspon terhadap tanda pemadatan sel, cedera jaringan, dan kebutuhan untuk tumbuh. Secara umum, sel menjalani siklusnya jika distimulasi oleh faktor hormon dan pertumbuhan yang diekskresi oleh sel – sel yang jauh, oleh faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal, dan oleh isyarat kimia yang dilepaskan dari sel sekitarnya, termasuk sitokinin yang dihasilkan oleh sel imun dan sel radang. Isyarat eksternal ini bertindak mengikat reseptor spesifik yang ada di membran plasma sel target. Setelah terikat, kompleks reseptor mengaktifkan sistem penghantar kedua (Second Massenger system), yang mengirimkan sinyal pertumbuhan ke inti sel. Ketika sinyal mencapai inti sel. Protein tertentu yang ada di inti sel, yang disebut faktor transkripsi, mengaktifkan atau menginaktifkan gen khusus yang pada akhirnya menghasilkan protein yang mengontrol proliferasi sel. Gen yang diaktifkan jugan menghasilkan protein yang memberikan umpan balik terhadap setia tahap sinyal dan stimulasi penghantar untuk memperkuat untuk meminimalkan efek stimulasi awal (Corwin, 2009).
Berikutnya akan diuraikan isyarat eksternal yang mengontrol pertumbuhan sel dan menyajikan contoh sistem penghantar kedua yang penting. Akhirnya akan disajikan dua kategori besar gen yang produksi akhirnya mengontrol siklus sel, yaitu gen supresor/penekan tumor dan proto – onkogen. Proto – onkogen adalah gen yang ditemukan di sel, yang ketika diaktifkan, merangsang sel untuk menjalani siklus sel untuk menjalani siklus sel sehingga menghasilkan pertumbuhan dan proliferasi sel. Gen ini dapat merangsang terjadinya siklus sel disemua tingkatan, termasuk (1) menghasilkan produksi yang membentuk reseptor membran untuk mengikat hormon dan bahan kimia perangsang pertumbuhan, (2) meningkatkan pertumbuhan protein penghantar kedua, termasuk protein ras, yang mentransfer sinyal pertumbuhan ke inti sel, dan (3) menghasilkan faktor transkripsi yang mengaktifkan gen vital yang mendorong pertumbuhan an sel (mis., keluarga gen myc) (Corwin, 2009).
DIFERENSIASI SEL
Selama perkembangan, sel normal akan ber diferensiasi. Diferensiasi sel berarti bahwa suatu sel menjadi khusus dalam struktur dan fungsinya, dan berkumpul dengan sel – selyang berdiferensiasi serupa. Sebagai contoh, sebagian sel embrionik ditakdirkan untuk menjadi sel retina, selain yang lain ditakdirkan untuk menjadi sel kulit atau jantung. Semakin tinggi diferensiasi sebuah sel, semakin jarang sel tersebut masuk ke siklus sel untuk bereproduksi, dan membelah.  Sel – sel saraf, yang tidak mengalami reproduksi, adalah sel yang berdiferensiasi tinggi. Sel yang jarang atau tidak pernah mengalami siklus sel tidak mungkin menjadi sel kanker, sedangkan sel yang sering menjalani siklus sel lebih mungkin cenderung mengalami kanker. Diferensiasi tampaknya terjadi akibat supresi selektif gen tertentu pada beberapa sel, sedangkan pada sel lain, gen yang sama tetap aktif. Diferensiasi setiap sel dan jaringan tampaknya mempengaruhi diferensiasi sel dan jaringan disekitarnya. Sel melepaskan faktor pertumbuhan khusus yang menuntun diferensiasi sel sekitar (Corwin, 2009).
II.2 Uraian Bahan
          Komposisi :
Air               96,5 %
Garam                    3,5 %
Dalam 3,5 garam mengandung :
a. Senyawa klorida 55 % wt
b. Senyawa sulfat 7,7 %  wt
c. Sodium 30,6 % wt
d. Calsium 1,2 % wt
e. Potassium 1,1 % wt
f. Magnesium 3,7 % wt
g. Lain-lain 0,7 % wt
2. Air Suling (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi                :   AQUA DESTILLATA
Sinonim                      :   Air suling, aquadest
Pemerian                    :   Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan               :   Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan                    :   Sebagai pelarut
3. Ragi (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi                :    Ekstrak ragi
Sinonim                      :    Sari ragi
Pemerian                    :    Kuning kemerahan, bau  khas
Kelarutan                    :   Larut dalam air, membentuk larutan kuning
Penyimpanan                :    Dalam wadah tertrutup baik.
Kegunaan                    :    Sebagai sumber makanan Artemia salina
4. N-heksan (Ditjen POM, 1995)
Nama resmi           : N-HEKSANA
Sinonim                 : N-heksan
RM/BM                 : CH14 / 86,18
Pemerian               : Cairan jernih , mudah menguap berbau seperti eter lemah atau bau seperti potreleum.
Kelarutan              : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol mutlak, dapat campur dengan eter, dengan kloroform, benzena,  dan sebagian besar minyak lemak dan minyak atsiri.
Penyimpanan          : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan               : Sebagai pelarut ekstrak

II.3 Uraian Tanaman   
II.3.1 Klasifikasi Mengkudu (plantamor.com)
Klasifikasi
Kingdom       : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi           : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas           : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas     : Asteridae
Ordo            : Rubiales
Famili          : Rubiaceae (suku kopi-kopian)
Genus          : Morinda
Spesies       : Morinda citrifolia L.
    II.3.2 Morfologi Mengkudu
   Tanaman ini tumbuh di dataran rendah hingga pada ketinggian 1500 m. Tinggi pohon mengkudu mencapai 3-8 m, memiliki bunga bongkol berwarna putih. Buahnya merupakan buah majemuk, yang masih muda berwarna hijau mengkilap dan memiliki totol-totol, dan ketika sudah tua berwarna putih dengan bintik-bintik hitam.
II.3.3 Kandungan Kimia dan Kegunaan
·      Zat nutrisi: secara keseluruhan mengkudu merupakan buah makanan bergizi lengkap. Zat nutrisi yang dibutuhkan tubuh, seperti protein, viamin, dan mineral penting, tersedia dalam jumlah cukup pada buah dan daun mengkudu. Selenium, salah satu mineral yang terdapat pada mengkudu merupakan antioksidan yang hebat. Berbagai jenis senyawa yang terkandung dalam mengkudu : xeronine, plant sterois,alizarin, lycine, sosium, caprylic acid, arginine, proxeronine, antra quinines, trace elemens, phenylalanine, magnesium, dll.
·      Terpenoid. Zat ini membantu dalam proses sintesis organic dan pemulihan sel-sel tubuh.
·      Zat anti bakteri.Zat-zat aktif yang terkandung dalam sari buah mengkudu itu dapat mematikan bakteri penyebab infeksi, seperti Pseudomonas aeruginosa, Protens morganii, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan Escherichia coli. Zat anti bakteri itu juga dapat mengontrol bakteri pathogen (mematikan) seperti Salmonella montivideo, S . scotmuelleri, S . typhi, dan Shigella dusenteriae, S . flexnerii, S . pradysenteriae, serta Staphylococcus aureus.
·      Scolopetin. Senyawa scolopetin sangat efektif sebagi unsur anti peradangan dan anti-alergi.
·      Zat anti kanker. Zat-zat anti kanker yang terdapat pada mengkudu paling efektif melawan sel-sel abnormal.
·      Xeronine dan Proxeronine. Salah satu alkaloid penting yang terdapt di dalam buah mengkudu adalah xeronine. Buah mengkudu hanya mengandung sedikit xeronine, tapi banyak mengandung bahan pembentuk (precursor) xeronine alias proxeronine dalam jumlah besar. Proxeronine adalah sejenis asam nukleat seperti koloid-koloid lainnya. Xeronine diserap sel-sel tubuh untuk mengaktifkan protein-protein yang tidak aktif, mengatur struktur dan bentuk sel yang aktif.

II.4  Uraian Hewan Coba
     Larva Udang (Artemia salina Leach)
          II.4.1 Klasifikasi (Mudjiman, 1998)
Filum        : Arthopoda
Divisio      : Crustaceae
Subdivisio : Branchiopoda
Ordo         : Anostraca
Famili       : Artemiidae
Genus       : Artemia
Species    : Artemia salina
  II.4.2 Morfologi (Mudjiman, 1998)
Udang (Artemia salina) mengalami beberapa fase hidup, tetapi secara jelas dapat dilihat dalam tiga bentuk yang sangat berlainan, yaitu bentuk telur, larva (nauplii) dan artemia dewasa. Telur yang baru dipanen dari alam berbentuk bulat dengan ukuran 0,2-0,3 mm. Telur yang menetas akan berubah menjadi larva. Telur yang baru menetas ini berukuran kurang lebih 300 µ. Dalam pertumbuhannya larva mengalami 15 kali perubahan bentuk yang merupakan satu tingkatan hidup, setelah itu berubah menjadi artemia dewasa.
Waktu yang diperlukan sampai menjadi artemia dewasa umumnya sekitar 2 minggu. Berbentuk silinder dengan panjang 12-15 mm. Tubuh terbagi atasl bagian kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat 2 tangkai mata, 2 antena dan dua antenula. Dada terbagi atas 12 segmen yang masing-masing mempunyai sepasang kaki renang. Perut ternagi atas 8 segmen. Dapat hidup dalam air dengan suhu 25o-30oC dan pH sekitar 8-9.
II.4.3  Uraian Tentang Larva (Mudjiman, 1998)
Telur-telur yang kering direndam dalam air laut yang bersuhu 25oC akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkangnya keluarlah burayak (larva) yang juga dikenal dengan istilah nauplius. Dalam perkembangan selanjutnya, burayak akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis). Burayak tingkat I dinamakan instar, tingkat II instar II, tingkat III Instar III, demikian seterusnya sampai Instar XV. Setelah itu berubahlah mereka menjadi artemia dewasa.
Burayak yang baru saja menetas masih dalam tingkat Instar I bentuknya bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron (0,4 mm) dan beratnya 15 mikrogram. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan. Oleh karena itu, mereka masih belum perlu makanan.
Anggota badannya terdiri dari sungut kecil (antenula atau antena I dan sepasang sungut besar (antenna II). Dibagian depan diantara kedua sungut kecilnya terdapat bintik merah yang tidak lain adalah mata naupliusnya (oselus). Dibelakang sungut besar terdapat sepasang mandibula (rahang) dan rudimenter kecil. Sedangkan dibagian perur (ventral) sebelah depan terdapatlah labrum.
Pada pangkal sungut besar (antena II) terdapat bangunan seperti duri yang menghadap ke belakang (gnotobasen seta) bangunan ini merupakan cirri khusus untuk membedakan burayak instar I, instar II dan instar III. Pada burayak instar I (baru menetas) gnotobasen setanya masih belum berbulu dan juga belum bercabang.
Sekitar 24 jam setelah menetas, burayak akan berubah menjadi instar II. Lebih lama lagi akan berubah menjadi instar III.Pada tingkatan II, gnotobasen setanya sudah berbulu tapi masih belum bercabang. Sedangkan pada instar III, selain berbulu gnotobasen seta tersebut sudah bercabang II.
Pada tingkatan instar II, burayak mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu, mereka mulai mencari makan, bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya dengan cara menggerak-gerakkan antena II-nya. Selain itu untuk mengumpulkan makanan antena II juga berfungsi untuk bergerak. Tubuh instar II dan instar III sudah lebih panjang dari instarI.
Pada tingkatan selanjutnya, disebelah kanan dan kiri mata nauplius mulai terbentuk sepasang mata majemuk. Mula-mula masih belum bertangkai. Kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi bertangkai. Selain itu, dibagian samping badannya (kanan dan kiri) juga berangsur-angsur tumbuh tunas kakinya (torakopada). Mula-mula tumbuh dibagian depan kemudian berturut-turut disusul oleh bagian-bagian yang lebih ke belakang. Setelah menjadi instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah masa burayak, dan berubah menjadi artemia dewasa.
II. 5 Prosedur Kerja (Anonim, 2012)
1. Penyiapan Larva
Sebanyak 50 mg telur Artemia salina Leach, direndam dalam 200 ml air laut pada kondisi pH 7-8 di bawah cahaya lampu dan suhu 25° C dan dilengkapi dengan aerator. Telur udang akan menetas setelah 24 jam dan menjadi larva. Larva yang telah berumur 2 hari (48 jam) digunakan sebagai hewan uji aktivitas ketoksikan.
2.  Pelaksanaan Pengujian
Sampel uji yang telah ditimbang dilarutkan dengan n-heksana hingga diperoleh konsentrasi 1 mg/ml sebagai larutan persediaan. Dari sediaan tersebut dipipet ke dalam vial masing-masing 1, 10, 100, 1.000 µl dengan menggunakan mikropipet. Kemudian pelarutnya diuapkan lalu ditambah 5 ml air laut. Untuk control tidak diberikan ekstrak n-heksan daun mengkudu hanya langsung diberikan air laut 5 ml ke dalam masing-masing vial yang berisi sampel uji dengan berbagai konsentrasi dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina Leach dan volumenya dicukupkan sampai 10 ml dengan air laut. Ke dalam tiap vial ditambahkan 1 tetes suspensi ekstrak ragi (1 mg dalam 10 ml air laut) sebagai sumber makanan. Vial-vial uji kemudian disimpan di tempat yang cukup mendapat sinar lampu. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan terhadap jumlah larva yang mati. Untuk tiap sampel dilakukan pengulangan atau replikasi sebanyak 2 dan 3 kali.
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat Yang Digunakan
Alat yang digunakan dalam praktikum BSLT adalah :
a.    Aerator
b.    Batang pengaduk
c.    Corong
d.    Gelas ukur 10 ml
e.    Kabel
f.    Lampu
g.    Mikropipet
h.    Pipet skala 1 ml
i.     Pipet tetes
j.     Seperangkat alat penetasan telur
k.    Spoit 5 ml
l.      Statif & klem
m.   Timbangan kasar
n.    Toples
o.    Vial
III.2 Bahan Yang Dipakai
Bahan yang dipakai dalam praktikum BSLT adalah :
a.    Air laut
b.    Air suling
c.    Alumunium foil
d.    Ragi
e.    Kertas saring
f.    Plastik
g.    Sampel uji berupa ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia)
h.    Telur udang Artemia salina leach
III.3 Hewan Coba      
           Hewan coba yang digunakan dalam praktikum  BSLT adalah Larva udang (Artemia salina Leach)
III.4 Cara Kerja
III.4.1 Penyiapan larva
a.    Disiapkan alat dan bahan
b.    Sebanyak 50 mg telur Artemia salina Leach direndam dalam wadah yang berisi 200 ml air laut pada pH 7-8
c.    Kemudian diletakkan di bawah cahaya lampu yang telah dilengkapi dengan aerator pada suhu 25oC yang dilengkapi aerator
d.    Setelah didiamkan selama 24 jam sambil terus diamati, telur udang tersebut akan menetap dan menjadi larva.
e.    Larva yang telah berumur 48 jam, digunakan sebagai hewan uji aktivitas ketoksikan.
III.4.2 Penyiapan Bahan
A.  Pembuatan Ekstrak n-heksan daun mengkudu

a.  Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b.  Ekstrak yang telah terbentuk ditimbang sebanyak 0,1 gram dan dilarutkan dalam 10 ml n-heksan
c.  Dimasukkan ke dalam vial.
b. Pembuatan Suspensi Ragi
a.  Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b.  Ditimbang ragi 0,1 gr
c.  Ditambahkan dengan 10 ml air laut kemudian di homogenkan
d.  Disimpan ragi tersebut pada gelas ukur dan siap digunakan.
c. Pelaksanaan Pengujian
a.  Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b.  Ditararkan vial untuk 5ml dan 10ml
c.  Dimasukkan suspensi ekstrak n-heksan daun mengkudu 1%.
d.  Dari sediaan tersebut dipipet ke dalam vial masing-masing 1 µl,10 µl,100 µl dan 1000 µl dengan menggunakan mikropipet.
e.  Kemudian ekstrak n-heksan daun mengkudu  diuapkan sampai kering .
f.  Ditambahkan air laut hingga 5 ml ke masing-masing vial .
g.  Untuk control tidak diberikan ekstrak n-heksan daun mengkudu hanya langsung diberikan air laut 5 ml .
h.  Kelima vial dengan konsentrasi yang telah berisi air laut dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina Leach .
i.   Kemudian ditambahkan ragi sebanyak 1 tetes.
j.   Ditambahkan sampai 10 ml dengan air laut
k.  Disimpan vial-vial uji di tempat yang cukup mendapat sinar lampu
l.    Hal yang sama dilakukan untuk replikasi 2 dan 3 kali
m. Dilakukan pengamatan dalam 1x24 jam terhadap kematian larva .
III.5 Perlakuan Hewan Coba

a.  Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b.  Dipipet ke dalam ekstrak n-heksan daun mengkudu dengan menggunakan mikropipet kedalam masing-masing vial yang berisi sesuai konsentrasi yang telah ditetapkan yaitu 1 µg/ml, 10 µg/ml, 100 µg/ml dan 1000 µg/ml lalu dicukupkan volumenya hingga 10 ml
c.  Kedalam tiap vial ditambahkan dimasukkan 10 ekor larva udang (Artemia salina Leach) dan ditambahkan dengan ragi.
d.  Dicukupkan  10 ml air laut
e.  Diinkubasi selama 1x 24 jam
f.   Diamati  LC 50
g.  Dilakukan  replikasi atau pengulangan sebanyak 2 dan 3 kali
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM
IV.1 Data Pengamatan  
Perlakuan
Replikasi
Kematian Larva
% Kematian
1 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
1
4
40%
2
4
3
4
10 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
1
4
46,7%
2
6
3
4
100 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
1
6
50%
2
5
3
4
1000 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
1
8

73,3%
2
7
3
7
Kontrol air laut
1
2
23,3%
2
3
3
2
BAB V
PEMBAHASAN
Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan metode yang menggunakan udang laut  Artemia salina Leach yang mana  diajukan sebagai suatu bioassay sederhana untuk penelitian produk alamiah. Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan  uji pendahuluan suatu senyawa yang memiliki keuntungan dimana   hasilnya  yang diperoleh lebih cepat  (24 jam), tidak mahal, mudah pengerjaannya dari pengujian lainnya karena tidak membutuhkan peralatan dan latihan khusus, sampel yang digunakan relatif sedikit. Efek toksik dapat diketahui atau diukur dari kematian larva karena pengaruh bahan uji.
Toksisitas adalah efek berbahaya dari bahan kimia atau suatu obat pada organ target. Umumnya setiap senyawa kimia mempunyai potensi terhadap timbulnya gangguan atau kematian jika diberikan kepada organisme hidup dalam jumlah yang cukup.
Adapun siklus hidup dari Artemia salina Leach, dimulai dari kista atau telur, kemudian menjadi embrio, embrio ini masih akan melekat pada kulit kista, setelah menjadi embrio dia akan menjadi nauplii, nauplii inilah yang berenang bebas dan memulai hidupnya, dan dalam fase ini mulai mencari makanan untuk dirinya sendiri. Setelah itu menjadi Artemia dewasa, setelah dewasa Artemia jantan dan Artemia betina bertemu dan mengalami perkembang biakan, dan lahirlah kembali kista ataupun telur.
Alasan digunakannya larva udang dalam percobaan ini adalah karena larva udang merupakan  general biossay sehingga semua zat dapat menembus masuk menembus dinding sel larva tersebut. Biossay adalah suatu pengujian tentang toksisitas pada suatu produk dalam rangka pencarian  produk alam yang potensial  yang biasanya menggunakan makhluk hidup sebagai sampel.
LC50 adalah konsentrasi dari suatu senyawa kimia di udara atau dalam air yang dapat menyebabkan 50% kematian pada suatu populasi hewan uji atau makhluk hidup tertentu. Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk pengujian ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan uji secara berkelompok yaitu pada saat hewan uji dipaparkan suatu bahan kimia melalui udara maka hewan uji tersebut akan menghirupnya atau percobaan toksisitas dengan media air. Nilai LC50 dapat digunakan untuk menentukan tingkat efek toksik suatu senyawa sehingga dapat juga untuk memprediksi potensinya sebagai antikanker.
Dalam percobaan kali ini digunakan 4 variasi konsentrasi yang berbeda masing-masing konsentrasi 1, 10, 100 dan 1000 µg/ml untuk membandingkan toksisitas dan efek toksik  yang ditimbulkan masing-masing konsentrasi tersebut. Setelah itu, untuk  melihat pada  konsentrasi berapakah larva udang mengalami LC50. Dan air laut sebagai kontrol dimaksudkan untuk melihat apakah  respon kematian dari sampel dan bukan dari laut. Selain itu digunakan ekstrak n-heksan daun mengkudu karena tanaman tersebut memiliki khasiat sebagai obat antikanker.
Dengan berdasarkan pada pemikiran bahwa efek farmakologi adalah toksikologi sederhana pada dosis yang rendah dan sebagian besar senyawa antitumor adalah sitotoksik, maka Brine Shrimp Lethality Test (BST) dapat digunakan sebagai uji pendahuluan senyawa antitumor. Senyawa yang mempunyai kemampuan membunuh larva udang diperkirakan juga mempunyai kemampuan membunuh sel kanker dalam kultur sel.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, maka didapatkan nilai LC50 dari pengujian metode BST pada  ekstrak n-heksan daun mengkudu  yaitu 30,62 .  Jika Diatas 30,62 bersifat toksik dibawah 27,07 tidak berefek.
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari data pengamatan dapat diproleh kesimpulan bahwa Penggunaan ekstrak n-heksan daun mengkudu jika melebihi  akan berefek toksik dan jika kurang dari  tidak akan memberikan efek.
VI.2. Saran
Sebaiknya di lab dipasang AC agar saat praktikum dapat berjalan lancar, tenang, damai.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. “Penuntun Farmakologi dan Toksikologi III”. UMI: Makassar.
Corwin, Elizabeth J, 2009. “Buku Saku Patofisiologi”. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Gunawan, Sulistia Gan, 2007. “Farmakologi dan Terapi Edisi 5”. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Griffits, E. J. F. , J. H.  Miller,  D. T.  Suzuki.,  R. G. Lewontin,  W.   M.  Gelbart.  1993.  An Introduction to Genetic Analysis 5th ed.  W.  H.  Preeman and Company.  New York.
Kee, Joyce L. 1996. “Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan”. EGC: Jakarta.
Mangan, Y.  2003.  Cara Bijak Menaklukkan Kanker.  Agromedia Pustaka Jakarta.

Mayer et al. 1982. Deteksi toksisitas Kanker. http://cis/. nci. nih. gov/ fact/3-62 htm. Dikunjungi pada Mei 2012.

Mutschler. E., 1991. Dinamika Obat. ITB : Bandung

Tjay, Tan Hoan. 2002. “Obat-Obat Penting”. Gramedia: Jakarta.




LAMPIRAN
SKEMA KERJA  ANTIKANKER (BST)
                 Ekstrak n-heksan daun mengkudu  200 mg/100 ml
 

Dilarutkan dan dibuat larutan stok (mg/ml)
 

Dipipet untuk mendapatkan konsentrasi  1, 10, 100, dan 1000 µl/ ml.
 

Dimasukkan 10 larva ke vial yang berisi air laut 5 ml
 

Dimasukkan suspensi ragi sebanyak 2-3 tetes
 

Dicukupkan volumenya hingga 10 ml dengan air laut
 

Diamati setelah 24 jam.
                                                                          
                                                     Dihitung  LC50

1 komentar: