PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Toksisitas adalah efek berbahaya dari bahan kimia suatu obat pada
organ target, berhubungan dengan kanker yang merupakan salah satu ancaman utama
di bidang kesehatan. Guna mendukung pencarian obat kanker yang spesifik, saat
ini banyak dilakukan penggalian dari bahan-bahan alam. Sekarang, kita dapat
menggunakan tanaman sebagai obat kanker. Sehingga perlu dilakukan
penelitian-penelitian yang berguna bagi pengembangan dalam pemanfaatan flora
yang ada secara maksimal alam termasuk untuk pengobatan kanker.
Dilakukan
penelitian, guna mendukung pencarian obat kanker yang spesifik, dari
bahan-bahan alam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian-penelitian yang
berguna bagi pengembangan dalam pemanfaatan flora yang ada secara maksimal alam
termasuk untuk pengobatan kanker.
Dalam mempelajari toksisitas yang paling awal dilakukan adalah dengan
menggunakan kematian dari hewan percobaan sebagai suatu respon dari pengaruh
suatu senyawa yang diuji. Angka kematian hewan percobaan
dihitung sebagai Median lethal concenration.
Metode pengujian BST
dengan menggunakan Artemia salina dianggap
memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa antikanker, sehingga sering
dilakukan untuk
skrining awal pencarian senyawa antikanker. Metode ini memiliki keuntungan dimana hasil
yang diperoleh lebih cepat (24 jam), tidak mahal, mudah pengerjaannya dari
pengujian inilah efek toksik dapat diketahui atau diukur dari kematian larva karena
pengaruh bahan uji dan
hasilnya dapat dipertanggung jawabkan.
I.2
Maksud Praktikum
Maksud dari praktikum ini
adalah untuk mengetahui dan memahami uji toksisitas dari
suatu senyawa berdasarkan metode Brine
Shrimp Lethality Test (BST).
I.3 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini
adalah untuk mengetahui efek
toksisitas dari hewan uji yaitu larva udang laut (Artemia Salina L) berdasarkan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
I.4 Prinsip Praktikum
Penentuan
efek toksisitas suatu senyawa bahan alam terhadap larva udang (Artemia Salina L) dengan menggunakan
metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), dimana dimasukkan 10 ekor larva
udang (Artemia Salina L) ke dalam
vial yang telah berisi ekstrak n-heksan daun mengkudu (Morinda citrifolia)
dan air laut sebagai kontrol dengan konsentrasi masing - masing 1, 10, 100,
dan 1000 µg. Kemudian diberikan 1
tetes ekstrak ragi sebagai sumber nutrisi. Vial-vial tersebut disimpan ditempat
yang cukup mendapat sinar lampu. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan dengan
melihat banyaknya jumlah larva udang (Artemia
Salina L) yang mati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Kanker
bukanlah istilah yang asing
lagi tetapi sering menjadi momok dan sangat
menakutkan bagi masyarakat.
Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel
jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. Sel-sel tersebut terbentuk
karena terjadinya mutasi gen sehingga mengalami perubahan baik bentuk,ukuran,
maupun fungsi dari sel tubuh yang asli.
Mutasi gen ini dipicu oleh keberadaan suatu bahan asing yang masuk
kedalam tubuh diantaranya zat bahan tambahan makanan, radioaktif, oksidan, atau
karsinogenik yang dihasilkan oleh tubuh sendiri secara alamiah (Griffiths,1993).
Kanker dapat menyerang semua bagian tubuh. Berdasarkan organ-organ tubuh yang terserang, dikenal berbagai jenis kanker
seperti kanker payudara, kanker mulut rahim, kanker otak, kanker hati, kanker
paru-paru, kanker prostat, kanker kulit dan kanker usus (Mangan, 2003).
Toksikologi
adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya
termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek terapeutis obat
berhubungan erat dengan efek toksisnya. Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis
yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme (“Sola dosis facit venenum”: hanya dosis
membuat racun, Paracelsus) (Tjay, 2002).
Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk
sediaan tak murni atau campuran dari beberapa zat aktif , metode spektrofotometer ultraviolet/ infrared,
dan polarograf tidak dapat dilakukan.
Obat-obat ini diukur dengan metode biologis, yaitu dengan bio-assay, dimana
aktivitas ditentukan oleh organisme hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan
efek obat tersebut dengan efek suatu standar internasional (Tjay, 2002).
Bila
ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka senyawa
yang lolos penyaringan ini akan diteliti lebih lanjut (Gunawan, 2007).
Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia,
dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik,
farmakokinetik, dan efek toksisnya pada hewan coba. Dalam studi farmakokinetik
ini tercakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa
tersebut dan metabolitnya dalam cairan biologik. Semuanya ini diperlukan untuk
memperkirakan dosis efektif dan memperkecil resiko penelitian pada manusia (Gunawan,
2007).
Ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan
toksikologi diantaranya (Mustchler, 1991) :
1.
Efek toksis akut, yang
langsung berhubungan dengan pengambilan zat toksik.
2.
Efek toksik kronik, yang
pada umumnya zat dalam jumlah sedikit diterima tubuh dalam jangka waktu yang
lama sehingga akan terakumulasi mencapai konsentrasi toksik dan dengan demikian
menyebabkan terjadinya gejala keracunan.
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun
dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelsus
pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan
mengatakan, bahwa dosis menetukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Sekarang
dikenal banyak faktor yang menentukan apakah
suatu zat kimia bersifat racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama
yang terpenting. Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis
kecil yang tidak berefek sama sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat
menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka
dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek farmakoterapeutik (Gunawan, 2007).
Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat
diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma
(serum). Tetapi, untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar,
batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat yang mempunyai indeks
terapeutik sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi, batas
terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebihi batas terapeutik,
maka efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau
penumpukan obat (Kee, 1996).
Angka
kematian hewan coba dihitung sebagai Median Lethal Dose (LD50) atau Median
Lathal Concentration (LC50). Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk pengujian
ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan coba secara inhalasi atau
menggunakan media air. Kematian pada hewan percobaan digunakan sebagai pedoman
untuk memperkirakan dosis kematian pada manusia (Cassaret, 1975).
Belakangan
ini telah banyak pengujian tentang toksisitas yang dikembangkan untuk pencarian
produk alam yang potensial sebagai bahan antineoplastik. Metode pengujian
tersebut antara lain Simple Brench-Top
Bioassay (terdiri dari Brine Shrimp
Lethality Test, Lemma Minor Bioassay
dan Crown-Gall Potato Disc Bioassay)
dan pengujian pada sel telur bulu babi
(Anonim, 2012) :
1.
Dengan berdasarkan pada pemikiran bahwa efek farmakologi adalah
toksikologi sederhana pada dosis yang rendah dan sebagian besar senyawa anti
tumor adalah sitotoksik, maka Brine Shrimp Lethality Test dapat digunakan
sebagai uji pendahuluan senyawa anti tumor. Senyawa yang mempunyai kemampuan
membunuh larva udang diperkirakan juga mempunyai kemampuan membunuh sel kanker
dalam kultur sel. Pengujian ini adalah pengujian letalitas yang sederhana dan
tidak spesifik untuk aktifitas tumor, tetapi merupakan indicator toksisitas
yang baik dan menunjukkan korelasi yang kuat dengan pengujian antitumor lainnya
seperti uji sitotoksitas dan uji leukemia tikus. Karena kesederhanaan prosedur
pengerjaan, biaya yang rendah serta korelasinya terhadap pengujian toksisitas
dan pengujian antitumor menjadikan Brine Shimp Lethality Test sebagai uji
hayati pendahuluan untuk aktivitas tumor yang sesuai dan dapat dilakukan secara
rutin di Laboratorium dengan fasilitas sederhana.
2.
Metode BST juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa
toksik dalam proses isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik
dengan menentukan harga LC50 dari senyawa aktif. Metode BST dapat
digunakan dari berbagai system uji seperti uji pestisida, mitotoksin, polutan,
anastetik, komponen seperti morfin, karsinogenik, dan ketoksikan dari hewan dan
tumbuhan laut serta senyawa racun dari tumbuhan darat.
3.
Lemma Minor Bioassay terutama digunakan sebagai uji pendahuluan
terhadap bahan yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Dengan pengujian ini dapat diamati bahwa senyawa anti tumor alami juga dapat
menghambat pertumbuhan lemma, walaupun korelasinya dengan pengujian anti tumor
lainnya kurang baik. Oleh karena pengujian ini lebih diarahkan untuk mencari
herbisida dan stimulant pertumbuhan tanaman baru.
4.
Crown-Gall Potato Disc Bioassay merupakan metode pengujian
toksisitas yang relatif cepat pengerjaannya, tidak mahal, tidak memerlukan
hewan percobaan serta menunjukkan korelasi yang sangat baik dengan uji
antitumor lainnya.
5. Pengujian pembelahan
sel telur bulu babi dilakukan dengan mengamati pengamatan penghambatan
pembelahan sel telur oleh suatu senyawa, diamati secara normal pembelahan sel
telur tersebut terjadi dengan cepat. Keuntungan dari metode ini adalah
pengerjannya yang relative cepat, tidak memerlukan kultur sel serta peralatan
dengan metode khusus. Seperti sel kanker, embrio Bulu Babi juga mempunyai
sensitivitas selektif terhadap obat sehingga pengujian dengan cara ini menjadi
metode yang layak bagi penentuan bahan yang akan dievaluasi lebih lanjut.
Walaupun
semua sel bereproduksi selama embriogenesis, hanya sel – sel tertentu yang
terus melakukannya setelah beberapa bulan kelahiran bayi. Sel – sel yang
bereproduksi, seperti sel hati, kulit dan gastrointestinal, menduplikasi secara
persis DNA mereka dan kemudian membelah menjadi dua sel anak. Sele bereproduksi
melalui sebuah proses, yang disebut siklus sel. Sel – sel yang tidak
bereproduksi setelah lahir, misalnya sel otot skeletela, tidak menjalani siklus
sel ini. Perjalanan siklus sel ini secara ketat dikontrol dan dapat
dihentikan atau dimulai bergantung pada
kondisi sel dan sinyal yang diterimanya, yang sebagian bahasannya diuraikan
berikut ini. Sel – sel yang bereproduksi biasanya melalui siklus sel dengan
kecepatan yang sudah semestinya kecepatannya dapat ditambahkan atau dikurangi.
Sel yang bereproduksi secara lambat, atau tidak sama sekali, menghabiskan
sebagian besar waktu mereka pada stadium
interfase tahap gap (G1 atau G2) (Corwin, 2009).
Siklus
sel dikontrol oleh konstribusi berbagai gen yang bererspon terhadap tanda
pemadatan sel, cedera jaringan, dan kebutuhan untuk tumbuh. Secara umum, sel
menjalani siklusnya jika distimulasi oleh faktor hormon dan pertumbuhan yang
diekskresi oleh sel – sel yang jauh, oleh faktor pertumbuhan yang diproduksi
secara lokal, dan oleh isyarat kimia yang dilepaskan dari sel sekitarnya,
termasuk sitokinin yang dihasilkan oleh sel imun dan sel radang. Isyarat
eksternal ini bertindak mengikat reseptor spesifik yang ada di membran plasma
sel target. Setelah terikat, kompleks reseptor mengaktifkan sistem penghantar
kedua (Second Massenger system), yang
mengirimkan sinyal pertumbuhan ke inti sel. Ketika sinyal mencapai inti sel.
Protein tertentu yang ada di inti sel, yang disebut faktor transkripsi, mengaktifkan atau menginaktifkan gen khusus
yang pada akhirnya menghasilkan protein yang mengontrol proliferasi sel. Gen
yang diaktifkan jugan menghasilkan protein yang memberikan umpan balik terhadap
setia tahap sinyal dan stimulasi penghantar untuk memperkuat untuk meminimalkan
efek stimulasi awal (Corwin, 2009).
Berikutnya
akan diuraikan isyarat eksternal yang mengontrol pertumbuhan sel dan menyajikan
contoh sistem penghantar kedua yang penting. Akhirnya akan disajikan dua
kategori besar gen yang produksi akhirnya mengontrol siklus sel, yaitu gen
supresor/penekan tumor dan proto – onkogen. Proto – onkogen adalah gen yang
ditemukan di sel, yang ketika diaktifkan, merangsang sel untuk menjalani siklus
sel untuk menjalani siklus sel sehingga menghasilkan pertumbuhan dan
proliferasi sel. Gen ini dapat merangsang terjadinya siklus sel disemua
tingkatan, termasuk (1) menghasilkan produksi yang membentuk reseptor membran
untuk mengikat hormon dan bahan kimia perangsang pertumbuhan, (2) meningkatkan
pertumbuhan protein penghantar kedua, termasuk protein ras, yang mentransfer
sinyal pertumbuhan ke inti sel, dan (3) menghasilkan faktor transkripsi yang
mengaktifkan gen vital yang mendorong pertumbuhan an sel (mis., keluarga gen myc) (Corwin, 2009).
DIFERENSIASI SEL
Selama perkembangan, sel normal akan ber
diferensiasi. Diferensiasi sel berarti bahwa suatu sel menjadi khusus dalam
struktur dan fungsinya, dan berkumpul dengan sel – selyang berdiferensiasi
serupa. Sebagai contoh, sebagian sel embrionik ditakdirkan untuk menjadi sel
retina, selain yang lain ditakdirkan untuk menjadi sel kulit atau jantung.
Semakin tinggi diferensiasi sebuah sel, semakin jarang sel tersebut masuk ke
siklus sel untuk bereproduksi, dan membelah.
Sel – sel saraf, yang tidak mengalami reproduksi, adalah sel yang
berdiferensiasi tinggi. Sel yang jarang atau tidak pernah mengalami siklus sel
tidak mungkin menjadi sel kanker, sedangkan sel yang sering menjalani siklus
sel lebih mungkin cenderung mengalami kanker. Diferensiasi tampaknya terjadi akibat
supresi selektif gen tertentu pada beberapa sel, sedangkan pada sel lain, gen
yang sama tetap aktif. Diferensiasi setiap sel dan jaringan tampaknya
mempengaruhi diferensiasi sel dan jaringan disekitarnya. Sel melepaskan faktor
pertumbuhan khusus yang menuntun diferensiasi sel sekitar (Corwin, 2009).
II.2 Uraian Bahan
Komposisi :
Air 96,5 %
Garam 3,5 %
Dalam 3,5 garam mengandung :
a. Senyawa klorida 55 % wt
b. Senyawa sulfat 7,7 % wt
c. Sodium 30,6 % wt
d. Calsium 1,2 % wt
e. Potassium 1,1 % wt
f. Magnesium 3,7 % wt
g. Lain-lain 0,7 % wt
2. Air Suling (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Sinonim : Air suling, aquadest
Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai pelarut
3. Ragi (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : Ekstrak ragi
Sinonim : Sari ragi
Pemerian : Kuning kemerahan, bau khas
Kelarutan : Larut dalam air, membentuk larutan kuning
Penyimpanan : Dalam wadah tertrutup baik.
Kegunaan : Sebagai sumber makanan Artemia salina
4. N-heksan (Ditjen POM,
1995)
Nama resmi : N-HEKSANA
Sinonim : N-heksan
RM/BM : C6H14 / 86,18
Pemerian : Cairan jernih , mudah menguap berbau seperti eter lemah
atau bau seperti potreleum.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air,
larut dalam etanol mutlak, dapat campur dengan eter, dengan kloroform,
benzena, dan sebagian besar minyak lemak
dan minyak atsiri.
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pelarut ekstrak
II.3 Uraian Tanaman
II.3.1 Klasifikasi Mengkudu (plantamor.com)
Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta
(Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi :
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi :
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas :
Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas :
Asteridae
Ordo :
Rubiales
Spesies : Morinda
citrifolia L.
II.3.2 Morfologi Mengkudu
Tanaman ini tumbuh di dataran rendah hingga pada ketinggian 1500 m. Tinggi
pohon mengkudu mencapai 3-8 m, memiliki bunga bongkol berwarna putih. Buahnya
merupakan buah majemuk, yang masih muda berwarna hijau mengkilap dan memiliki
totol-totol, dan ketika sudah tua berwarna putih dengan bintik-bintik hitam.
II.3.3 Kandungan Kimia dan Kegunaan
·
Zat nutrisi:
secara keseluruhan mengkudu merupakan buah makanan bergizi lengkap. Zat nutrisi
yang dibutuhkan tubuh, seperti protein, viamin, dan mineral penting, tersedia
dalam jumlah cukup pada buah dan daun mengkudu. Selenium, salah satu mineral
yang terdapat pada mengkudu merupakan antioksidan yang hebat. Berbagai jenis
senyawa yang terkandung dalam mengkudu : xeronine, plant sterois,alizarin,
lycine, sosium, caprylic acid, arginine, proxeronine, antra quinines, trace
elemens, phenylalanine, magnesium, dll.
·
Terpenoid. Zat ini
membantu dalam proses sintesis organic dan pemulihan sel-sel tubuh.
·
Zat anti
bakteri.Zat-zat aktif yang terkandung dalam sari buah mengkudu itu dapat mematikan
bakteri penyebab infeksi, seperti Pseudomonas aeruginosa, Protens morganii,
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan Escherichia coli. Zat anti
bakteri itu juga dapat mengontrol bakteri pathogen (mematikan) seperti
Salmonella montivideo, S . scotmuelleri, S . typhi, dan Shigella dusenteriae, S
. flexnerii, S . pradysenteriae, serta Staphylococcus aureus.
·
Scolopetin.
Senyawa scolopetin sangat efektif sebagi unsur anti peradangan dan anti-alergi.
·
Zat anti kanker.
Zat-zat anti kanker yang terdapat pada mengkudu paling efektif melawan sel-sel
abnormal.
·
Xeronine dan
Proxeronine. Salah satu alkaloid penting yang terdapt di dalam buah mengkudu
adalah xeronine. Buah mengkudu hanya mengandung sedikit xeronine, tapi banyak
mengandung bahan pembentuk (precursor) xeronine alias proxeronine dalam jumlah
besar. Proxeronine adalah sejenis asam nukleat seperti koloid-koloid lainnya.
Xeronine diserap sel-sel tubuh untuk mengaktifkan protein-protein yang tidak
aktif, mengatur struktur dan bentuk sel yang aktif.
II.4 Uraian Hewan Coba
Larva Udang (Artemia salina Leach)
II.4.1
Klasifikasi (Mudjiman, 1998)
Filum : Arthopoda
Divisio : Crustaceae
Subdivisio : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemiidae
Genus : Artemia
Species :
Artemia salina
II.4.2 Morfologi (Mudjiman, 1998)
Udang
(Artemia salina) mengalami beberapa
fase hidup, tetapi secara jelas dapat dilihat dalam tiga bentuk yang sangat
berlainan, yaitu bentuk telur, larva (nauplii) dan artemia dewasa. Telur yang
baru dipanen dari alam berbentuk bulat dengan ukuran 0,2-0,3 mm. Telur yang
menetas akan berubah menjadi larva. Telur yang baru menetas ini berukuran
kurang lebih 300 µ. Dalam pertumbuhannya larva mengalami 15 kali perubahan
bentuk yang merupakan satu tingkatan hidup, setelah itu berubah menjadi artemia
dewasa.
Waktu
yang diperlukan sampai menjadi artemia dewasa umumnya sekitar 2 minggu.
Berbentuk silinder dengan panjang 12-15 mm. Tubuh terbagi atasl bagian kepala,
dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat 2 tangkai mata, 2 antena dan dua
antenula. Dada terbagi atas 12 segmen yang masing-masing mempunyai sepasang
kaki renang. Perut ternagi atas 8 segmen. Dapat hidup dalam air dengan suhu 25o-30oC
dan pH sekitar 8-9.
II.4.3 Uraian Tentang Larva (Mudjiman, 1998)
Telur-telur yang kering direndam dalam air laut yang bersuhu 25oC
akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkangnya keluarlah burayak
(larva) yang juga dikenal dengan istilah nauplius. Dalam perkembangan
selanjutnya, burayak akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis).
Burayak tingkat I dinamakan instar, tingkat II instar II, tingkat III Instar
III, demikian seterusnya sampai Instar XV. Setelah itu berubahlah mereka
menjadi artemia dewasa.
Burayak yang baru saja menetas masih dalam tingkat Instar I
bentuknya bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron (0,4 mm) dan beratnya
15 mikrogram. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan
cadangan. Oleh karena itu, mereka masih belum perlu makanan.
Anggota badannya terdiri dari sungut kecil (antenula atau antena I
dan sepasang sungut besar (antenna II). Dibagian depan diantara kedua sungut
kecilnya terdapat bintik merah yang tidak lain adalah mata naupliusnya
(oselus). Dibelakang sungut besar terdapat sepasang mandibula (rahang) dan
rudimenter kecil. Sedangkan dibagian perur (ventral) sebelah depan terdapatlah
labrum.
Pada pangkal sungut besar (antena II) terdapat bangunan seperti
duri yang menghadap ke belakang (gnotobasen seta) bangunan ini merupakan cirri
khusus untuk membedakan burayak instar I, instar II dan instar III. Pada
burayak instar I (baru menetas) gnotobasen setanya masih belum berbulu dan juga
belum bercabang.
Sekitar 24 jam setelah menetas, burayak akan berubah menjadi
instar II. Lebih lama lagi akan berubah menjadi instar III.Pada tingkatan II,
gnotobasen setanya sudah berbulu tapi masih belum bercabang. Sedangkan pada
instar III, selain berbulu gnotobasen seta tersebut sudah bercabang II.
Pada tingkatan instar II, burayak mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan
dan dubur. Oleh karena itu, mereka mulai mencari makan, bersamaan dengan itu,
cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya dengan cara
menggerak-gerakkan antena II-nya. Selain itu untuk mengumpulkan makanan antena
II juga berfungsi untuk bergerak. Tubuh instar II dan instar III sudah lebih
panjang dari instarI.
Pada tingkatan selanjutnya, disebelah kanan dan kiri mata nauplius
mulai terbentuk sepasang mata majemuk. Mula-mula masih belum bertangkai.
Kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi bertangkai. Selain itu,
dibagian samping badannya (kanan dan kiri) juga berangsur-angsur tumbuh tunas
kakinya (torakopada). Mula-mula tumbuh dibagian depan kemudian berturut-turut
disusul oleh bagian-bagian yang lebih ke belakang. Setelah menjadi instar XV,
kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah masa burayak, dan
berubah menjadi artemia dewasa.
II. 5 Prosedur Kerja (Anonim, 2012)
1. Penyiapan Larva
Sebanyak 50 mg telur Artemia salina Leach, direndam dalam 200
ml air laut pada kondisi pH 7-8 di bawah cahaya lampu dan suhu 25° C dan
dilengkapi dengan aerator. Telur udang akan menetas setelah 24 jam dan menjadi
larva. Larva yang telah berumur 2 hari (48 jam) digunakan sebagai hewan uji
aktivitas ketoksikan.
2. Pelaksanaan
Pengujian
Sampel
uji yang telah ditimbang dilarutkan dengan n-heksana hingga diperoleh
konsentrasi 1 mg/ml sebagai larutan persediaan. Dari sediaan tersebut dipipet
ke dalam vial masing-masing 1, 10, 100, 1.000 µl dengan menggunakan mikropipet.
Kemudian pelarutnya diuapkan lalu ditambah 5 ml air laut. Untuk control tidak
diberikan ekstrak n-heksan daun mengkudu hanya langsung diberikan air laut 5 ml
ke dalam masing-masing vial yang berisi sampel uji dengan berbagai konsentrasi
dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina
Leach dan volumenya dicukupkan sampai 10 ml dengan air laut. Ke dalam tiap vial
ditambahkan 1 tetes suspensi ekstrak ragi (1 mg dalam 10 ml air laut) sebagai
sumber makanan. Vial-vial uji kemudian disimpan di tempat yang cukup mendapat
sinar lampu. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan terhadap jumlah larva yang
mati. Untuk tiap sampel dilakukan pengulangan atau replikasi sebanyak 2 dan 3
kali.
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat Yang Digunakan
Alat
yang digunakan dalam praktikum BSLT adalah :
a.
Aerator
b.
Batang pengaduk
c.
Corong
d.
Gelas ukur 10 ml
e.
Kabel
f.
Lampu
g.
Mikropipet
h.
Pipet skala 1 ml
i.
Pipet tetes
j.
Seperangkat alat
penetasan telur
k.
Spoit 5 ml
l.
Statif & klem
m.
Timbangan kasar
n.
Toples
o.
Vial
III.2 Bahan Yang
Dipakai
Bahan
yang dipakai dalam praktikum BSLT adalah :
a.
Air laut
b.
Air suling
c.
Alumunium foil
d.
Ragi
e.
Kertas saring
f.
Plastik
g.
Sampel uji berupa
ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia)
h.
Telur udang Artemia salina leach
III.3 Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan
dalam praktikum BSLT adalah Larva udang (Artemia salina Leach)
III.4
Cara Kerja
III.4.1 Penyiapan larva
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Sebanyak 50 mg telur Artemia salina Leach direndam dalam wadah yang berisi 200 ml air
laut pada pH 7-8
c. Kemudian diletakkan di bawah cahaya lampu yang
telah dilengkapi dengan aerator pada suhu 25oC yang dilengkapi
aerator
d. Setelah didiamkan selama 24 jam sambil terus
diamati, telur udang tersebut akan menetap dan menjadi larva.
e. Larva yang telah berumur 48 jam, digunakan sebagai hewan
uji aktivitas ketoksikan.
III.4.2 Penyiapan
Bahan
A.
Pembuatan
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Ekstrak yang telah terbentuk ditimbang sebanyak 0,1
gram dan dilarutkan dalam 10 ml n-heksan
c. Dimasukkan ke dalam vial.
b. Pembuatan
Suspensi Ragi
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Ditimbang ragi 0,1 gr
c. Ditambahkan dengan 10 ml air laut kemudian di
homogenkan
d. Disimpan ragi tersebut pada gelas ukur dan siap
digunakan.
c. Pelaksanaan
Pengujian
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Ditararkan vial untuk 5ml dan 10ml
c. Dimasukkan suspensi ekstrak n-heksan daun mengkudu
1%.
d. Dari sediaan tersebut dipipet ke dalam vial masing-masing
1 µl,10 µl,100 µl dan 1000 µl dengan menggunakan mikropipet.
e. Kemudian ekstrak n-heksan daun mengkudu diuapkan sampai kering .
f. Ditambahkan air laut hingga 5 ml ke masing-masing
vial .
g. Untuk control tidak diberikan ekstrak n-heksan daun
mengkudu hanya langsung diberikan air laut 5 ml .
h. Kelima vial dengan konsentrasi yang telah berisi
air laut dimasukkan 10 ekor larva Artemia
salina Leach .
i.
Kemudian ditambahkan
ragi sebanyak 1 tetes.
j.
Ditambahkan sampai 10
ml dengan air laut
k. Disimpan vial-vial uji di tempat yang cukup
mendapat sinar lampu
l.
Hal yang sama dilakukan
untuk replikasi 2 dan 3 kali
m. Dilakukan pengamatan dalam 1x24 jam terhadap
kematian larva .
III.5 Perlakuan
Hewan Coba
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Dipipet ke dalam ekstrak n-heksan daun mengkudu
dengan menggunakan mikropipet kedalam masing-masing vial yang berisi sesuai
konsentrasi yang telah ditetapkan yaitu 1 µg/ml, 10 µg/ml, 100 µg/ml dan 1000
µg/ml lalu dicukupkan volumenya hingga 10 ml
c. Kedalam tiap vial ditambahkan dimasukkan 10 ekor larva udang (Artemia salina Leach) dan ditambahkan
dengan ragi.
d. Dicukupkan 10 ml air laut
e. Diinkubasi selama 1x 24
jam
f. Diamati LC 50
g. Dilakukan replikasi atau pengulangan sebanyak 2 dan 3
kali
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM
IV.1 Data Pengamatan
Perlakuan
|
Replikasi
|
Kematian Larva
|
% Kematian
|
1 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
|
1
|
4
|
40%
|
2
|
4
|
||
3
|
4
|
||
10 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
|
1
|
4
|
46,7%
|
2
|
6
|
||
3
|
4
|
||
100 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
|
1
|
6
|
50%
|
2
|
5
|
||
3
|
4
|
||
1000 µg
Ekstrak n-heksan daun mengkudu
|
1
|
8
|
73,3%
|
2
|
7
|
||
3
|
7
|
||
Kontrol air laut
|
1
|
2
|
23,3%
|
2
|
3
|
||
3
|
2
|
BAB V
PEMBAHASAN
Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan
metode yang menggunakan udang laut Artemia salina Leach yang mana diajukan sebagai suatu bioassay sederhana
untuk penelitian produk alamiah. Brine Shrimp Lethality Test (BST)
merupakan uji pendahuluan suatu senyawa
yang memiliki keuntungan dimana
hasilnya yang diperoleh lebih
cepat (24 jam), tidak mahal, mudah
pengerjaannya dari pengujian lainnya karena tidak membutuhkan peralatan dan
latihan khusus, sampel yang digunakan relatif sedikit. Efek toksik dapat
diketahui atau diukur dari kematian larva karena pengaruh bahan uji.
Toksisitas adalah efek berbahaya dari bahan
kimia atau suatu obat pada organ target. Umumnya setiap senyawa kimia mempunyai
potensi terhadap timbulnya gangguan atau kematian jika diberikan kepada
organisme hidup dalam jumlah yang cukup.
Adapun siklus hidup dari Artemia salina Leach, dimulai dari kista atau telur, kemudian
menjadi embrio, embrio ini masih akan melekat pada kulit kista, setelah menjadi
embrio dia akan menjadi nauplii, nauplii inilah yang berenang bebas dan memulai
hidupnya, dan dalam fase ini mulai mencari makanan untuk dirinya sendiri.
Setelah itu menjadi Artemia dewasa, setelah dewasa Artemia jantan dan Artemia
betina bertemu dan mengalami perkembang biakan, dan lahirlah kembali kista
ataupun telur.
Alasan digunakannya larva
udang dalam percobaan ini adalah karena larva udang merupakan general biossay sehingga semua zat dapat
menembus masuk menembus dinding sel larva tersebut. Biossay adalah suatu pengujian tentang toksisitas pada suatu produk dalam
rangka pencarian produk alam yang
potensial yang biasanya menggunakan
makhluk hidup sebagai sampel.
LC50 adalah konsentrasi dari suatu
senyawa kimia di udara atau dalam air yang dapat menyebabkan 50% kematian pada
suatu populasi hewan uji atau makhluk hidup tertentu. Penggunaan LC50
dimaksudkan untuk pengujian ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan uji
secara berkelompok yaitu pada saat hewan uji dipaparkan suatu bahan kimia
melalui udara maka hewan uji tersebut akan menghirupnya atau percobaan
toksisitas dengan media air. Nilai LC50 dapat digunakan untuk
menentukan tingkat efek toksik suatu senyawa sehingga dapat juga untuk
memprediksi potensinya sebagai antikanker.
Dalam percobaan kali ini
digunakan 4 variasi konsentrasi yang berbeda masing-masing konsentrasi 1, 10, 100 dan
1000 µg/ml untuk membandingkan toksisitas dan efek toksik yang ditimbulkan masing-masing konsentrasi
tersebut. Setelah itu, untuk melihat
pada konsentrasi berapakah larva udang
mengalami LC50. Dan air laut sebagai kontrol dimaksudkan untuk
melihat apakah respon kematian dari
sampel dan bukan dari laut. Selain itu digunakan ekstrak n-heksan
daun mengkudu karena tanaman tersebut memiliki khasiat
sebagai obat
antikanker.
Dengan berdasarkan
pada pemikiran bahwa efek farmakologi adalah toksikologi sederhana pada dosis
yang rendah dan sebagian besar senyawa antitumor adalah sitotoksik, maka Brine
Shrimp Lethality Test (BST) dapat digunakan sebagai uji pendahuluan senyawa
antitumor. Senyawa yang mempunyai kemampuan membunuh larva udang diperkirakan
juga mempunyai kemampuan membunuh sel kanker dalam kultur sel.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, maka didapatkan nilai LC50
dari pengujian metode BST pada ekstrak n-heksan
daun mengkudu yaitu 30,62
. Jika Diatas 30,62 bersifat toksik dibawah
27,07 tidak berefek.
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan
Berdasarkan
dari data pengamatan dapat diproleh kesimpulan bahwa Penggunaan ekstrak
n-heksan daun mengkudu jika melebihi
akan berefek toksik dan
jika kurang dari
tidak akan memberikan efek.
VI.2. Saran
Sebaiknya
di lab dipasang AC agar saat praktikum dapat berjalan lancar, tenang, damai.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. “Penuntun
Farmakologi dan Toksikologi III”. UMI: Makassar.
Corwin, Elizabeth
J, 2009. “Buku Saku Patofisiologi”.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Gunawan, Sulistia Gan, 2007. “Farmakologi dan Terapi Edisi 5”.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Griffits, E. J. F. , J. H.
Miller, D. T. Suzuki.,
R. G. Lewontin, W. M. Gelbart. 1993. An
Introduction to Genetic Analysis 5th ed. W.
H. Preeman and Company. New York.
Kee, Joyce L.
1996. “Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan”. EGC: Jakarta.
Mangan, Y. 2003. Cara
Bijak Menaklukkan Kanker.
Agromedia Pustaka Jakarta.
Mayer et al. 1982. Deteksi toksisitas Kanker. http://cis/. nci. nih. gov/ fact/3-62 htm. Dikunjungi
pada Mei 2012.
Mutschler. E., 1991. Dinamika Obat. ITB : Bandung
Tjay, Tan Hoan.
2002. “Obat-Obat Penting”. Gramedia: Jakarta.
LAMPIRAN
SKEMA KERJA ANTIKANKER (BST)
Ekstrak n-heksan daun mengkudu 200 mg/100 ml
Dilarutkan dan dibuat larutan stok (mg/ml)
Dipipet untuk mendapatkan konsentrasi 1, 10,
100, dan 1000 µl/ ml.
Dimasukkan 10 larva ke vial yang berisi air laut 5 ml
Dimasukkan
suspensi ragi sebanyak 2-3 tetes
Dicukupkan volumenya hingga 10 ml dengan air laut
Diamati setelah 24 jam.
Dihitung
LC50
artikel ini sangat bermanfaat. trims
BalasHapus